Jumat, 26 November 2010

DAMPAK FATWA MUI DAN MUHAMMADIYAH TERHADAP PEREKONOMIAN INDONESIA

Oleh : A. Rodes Medo (20080420080)




A. PENDAHULUAN

Majelis Ulama Indonesia adalah wadah atau majelis yang menghimpun para ulama, zuama dan cendekiawan muslim Indonesia untuk menyatukan gerak dan langkah-langkah umat Islam Indonesia dalam mewujudkan cita-cita bersama. Sedangkan Muhammadiyah adalah sebuah organisasi Islam yang besar di Indonesia.

MUI akhirnya mengeluarkan fatwa rokok haram untuk anak-anak, remaja, dan wanita hamil, begitupun juga Muhammadiyah. Jika dilanggar, sanksinya adalah dosa. Demikian diungkapkan pimpinan Ijtima’ Komisi Fatwa, Prof Dr HM Amin Suma, MA (KR, 27/1/2009). Tak urung, fatwa ini menyulut pro-kontra. Masing-masing pihak bersikukuh dengan argumentasinya, baik dari perspektif sosial, politik, kesehatan, maupun ekonomi.

Fakta di tengah kemudaratan yang ada bahwa Indonesia adalah negara dengan konsumsi rokok tertinggi setelah Republik Rakyat Cina, USA, Rusia, dan Jepang (data tahun 2002). Konsumsi rokok mencapai 181,958 miliar batang. Lebih memprihatinkan lagi adalah Survei Ekonomi Nasional yang melaporkan bahwa peningkatan signifikan prevalensi merokok anak usia 15-19 tahun, dari 12,7 persen di tahun 2006 meningkat menjadi 17,3 persen di tahun 2009. Artinya, jumlah perokok tahun 2008 mencapai 65 juta dari 285 juta penduduk Indonesia! Di tahun 2010, walau belum ada angka pastinya, diduga akan akan menurun akibat dari Fatwa yang dikeluarkan oleh MUI dan Muhammadiyah.

Keduanya tersebut, telah mengeluarkan fatwa haram bagi perokok. Apakah patut fatwa tersebut diberlakukan di Indonesia yang notabene Rokok adalah penyumbang Bea Cukai terbesar di Indonesia?

Secara langsung yang menerima dampak tersebut adalah Pabrik Rokok, Petani Tembakau, dan Buruh Pabrik. Di Indonesia terdapat Pabrik rokok yang sudah  bertaraf internasional dan nasional seperti Sampoerna Tbk, Djarum, Minak Djinggo, Gudang Garam dan Sukun serta pabrik rokok lainnya. Sumbangsih mereka dalam APBN 2010 , dari total target penerimaan bea cukai sebesar Rp 84,49 triliun, sekira Rp 57,28 triliun diantaranya disumbang dari cukai. Dari target penerimaan cukai tersebut, sekitar Rp 55,92 triliun diantaranya disumbang dari cukai rokok.

Penurunan pendapatan negara ini akan mempengaruhi tingkat perekonomian Indonesia, karena kita akan mengurangi realisasi APBN untuk selanjutnya.

Fatwa MUI dan Muhammadiya ini juga, dapat mempengaruhi beban yang ditanggung Pemerintah Indonesia karena dapat menambah pengangguran dan kehilangan mata pencaharian bagi Petani Tembakau, Data dari Departemen Pertanian menunjukkan bahwa jumlah petani tembakau tahun 2004 adalah 686.000 petani, sekitar 1,6 persen dari jumlah tenaga kerja di sektor ini atau 0,7 persen jumlah tenaga kerja di Indonesia. Apabila hal ini tidak difikirkan secara matang untuk jalan keluar yang terbaik, maka kita akan menambah beban bagi bangsa ini.

B. PEMBAHASAN

Ada dua alasan yang menyebutkan faktor-faktor penurunan dari Bea Cukai Rokok  yaitu  adanya fatwa haram rokok dari MUI dan Muhammadiyah, gencarnya himbauan larangan ataupun gerakan anti rokok oleh LSM dan Pemda.

Kedua,  rencana pengenaan pajak impor rokok, RUU penyiaran yang membatasi iklan rokok, RUU Pengendalian Dampak Tembakau, Perda larangan merokok di tempat umum, resesi ekonomi global, serta rencana implementasi framework control tobacco convention (FCTC)

Di sisi lain, penurunan produksi rokok dalam RAPBN-P 2010 sebanyak 248,4 miliar batang dibandingkan dalam APBN 2010 sebanyak 261 miliar batang juga ikut menopang penurunan penerimaan cukai rokok.

Akibat penurunan ini sudah jelas dari aspek ekonomi Indonesia, yaitu peranan cukai terhadap Penerimaan Dalam Negeri. Sebagai salah satu sumber penerimaan negara, cukai mempunyai peranan yang sangat penting dalam APBN khususnya dalam kelompok Penerimaan Dalam Negeri yang senantiasa mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Berdasarkan gambaran tersebut diatas, maka pada dasarnya penerimaan cukai masih memiliki potensi yang cukup besar dalam meningkatkan peranannya  sebagai salah satu sumber dana pembangunan.

Banyak sekali dana dari Pendapatan Bea cukai rokok direalisasikan dalam APBN Indonesia untuk pembangunan yang dapat meningkatkan taraf hidup masyarakat seperti UKM, Rumah Sakit, Dana Pendidikan, dll. Disatu sisi CSR ( Corporate Social Responsibility) yang dilakukan oleh Produsen rokok sangatlah berarti bagi perkembangan bangsa Indonesia, seperti yang kita ketahui pada sektor pendidikan Djarum memberikan berbagai Beasiswa dan Perekrutan langsung tenaga kerjanya, sedangkan Sampoerna memberikan beasiswa studi baik dam maupun luar negeri serta pembangunan tempat umum lainnya yang diperlukan masyarakat. Hal ini harus juga pemerintah perhatikan, semakin kecil pendapatan yang diterima produsen rokok menurut saya semakin kecil pula dana CSR yang akan mereka realisasikan demi kepentingan bangsa.

Memang ironis bila berbicara soal rokok. Di satu sisi, kepulan asap rokok bisa diandalkan menjadi salah satu palang pintu anggaran negara. Maklum, cukai rokok merupakan pendapatan terbesar keempat pemerintah setelah pajak pertambahan nilai, pajak penghasilan badan, serta pajak penghasilan minyak dan gas. Disamping itu, industri ini juga menyerap tenaga kerja yang cukup besar. Kendati demikian, jangan lupa, dampak negatif yang ditimbulkan rokok juga sangat besar bagi kesehatan.































C. PENUTUP

Dengan menurunnya produksi rokok, tidak menghambat kita dalam meningkatkan pendapatan negara dari Bea Cukai. Salah satu cara diantaranya dengan memperketat pengawasan rokok ilegal atau tidak bercukai yang volumenya diperkirakan mencapai 8 miliar batang.

Maka saran yang dapat diberikan penulis yaitu pemerintah harus dapat merangkul dan membina pengusaha rokok ilegal agar mau berusaha dengan benar. Karena penerimaan pemerintah akan semakin meningkat dan nyata jika rokok yang diproduksi oleh pengusaha-pengusaha rokok memesan pita cukai kepada pemerintah. Selain itu, berdasarkan hasil penelitian, karena harga rokok yang diproduksi dari nilai tukar tidak berpengaruh terhadap konsumsi rokok, maka alternatif lain yang dapat dilakukan pemerintah untuk meningkatkan penerimaannya dari cukai hasil tembakau adalah melalui peningkatan tarif cukai rokok.

Adapun dari sisi tarif cukai, pemerintah harus  mengambil kebijakan dengan menaikkan tarif untuk semua jenis rokok. Tarif rata-rata rokok Sigaret Kretek Mesin (SKM) yang pada APBN 2010 dipatok Rp 263,1 per batang dinaikkan menjadi Rp 266 per batang dalam RAPBN-P 2010 . Adapun tarif rata-rata rokok Sigaret Putih Mesin (SPM) naik dari Rp 204,5 menjadi Rp 246,2 per batang dan rokok Sigaret Kretek Tangan (SKT) naik dari Rp 135,3 menjadi Rp 151,9 per batang. Adanya kenaikan cukai ini akan semakin memberatkan masyarakat miskin pecandu rokok. Sehingga ini akan menurunkan konsumsi masyarakat miskin.

Pemerintah untuk melindungi Petani Tembakau dan Buruh pabrik yang bekerja di sektor rokok, untuk dapat memberikan kebijakan yang tepat terkait dengan ekspor rokok ke luar negeri yaitu dengan memberikan Pajak 0% untuk ekspor ke luar negeri atas Rokok yang diproduksi oleh Pabrik rokok, sehingga volume rokok mereka tidak mengalami penurunan.

Kemudian, Ini adalah masalah serius yang harus dikaji bersama, tidak hanya dari aspek kesehatan, melainkan juga dari aspek ekonomi, politik, dan sosial. Pengkajian ini menjadi domain pemerintah, karena pemerintahlah yang dapat memberikan jalan keluar atas polemik serius dalam kampanye antirokok. Pemerintah tidak bisa diam, sebab industri rokok telah memberikan kontribusi sangat besar dalam hal keuntungan dan pajak kepada pemerintah.

Pemerintah jangan bersikap ambigu, di satu sisi pura-pura ikut terlibarkampanye annrokok, tetapi di balik itu pemerintah juga berharap banyak dari pajak dan cukai rokok yang sangat besar. Jadi pemerintah harus bersikap tegas cepat turun tangan. Kita tidak ingin terjadi "perang" antara mereka yang antirokok dengan kalangan industri rokok hingga berdampak terhadap kehidupan sosial ekonomi masyarakat.

***

0 komentar:

Info Muda Mendunia

Popular Posts

Diberdayakan oleh Blogger.